Written By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari Instruktur Pelatihan Orangtua di 18 Propinsi 60 Kota di Indonesia
Curhat, sarana yang sederhana, ternyata dapat membuat anak-anak kita bisa memiliki daya tahan mental lebih baik terhadap lingkungan (negatif). Setidaknya itu yang dipublikasikan riset dari John Hopkins University: remaja-remaja yang memiliki kesempatan berbicara pada orangtua ternyata memiliki daya tahan mental lebih baik terhadap pengaruh lingkungan.
Tanyakanlah pada mereka yang tak pernah curhat pada orangtua, apakah mereka merasa ‘dekat’ dengan orangtuanya? Bagi sebagian kita juga, coba-coba ingat-ingat masa remaja Anda. Bagi sebagain kita yang curhat pada orangtua, bukankah ada perasaan tenang dan nyaman bukan? Sebaliknya bagi kita yang tak pernah curhat, bukankah sungguh tak enak memiliki orangtua tapi tak nyaman bicara pada orangtua?
Lalu, bagaimana agar anak nyaman curhat pada kita, orangtuanya?Pertama, orangtua harus memahami tipe apakah anaknya ini: periang atau pemalu? Pendekatan pada setiap anak dapat berbeda untuk membuat anak curhat. Anak-anak yang periang mungkin mudah untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Bahkan, sebagian anak ini, jika bicara hampir tanpa titik, berantai seperti kereta api. Agar anak curhat, orangtua tinggal membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka dari cerita-cerita yang mungkin akan meluncur dari mulut anak-anaknya.
Tetapi bagi sebagian anak lain seperti anak pemalu, maka ia cenderung diam dan pasif. Ini terjadi karena ia cenderung menjadi ‘pengamat’ dari pada pembicara. Apalagi, anaknya cenderung hati-hati. Tapi, percayalah, berbicaralah adalah kebutuhan bagi semua orang, termasuk bagi anak-anak yang pendiam sekalipun. Hanya saja memang orangtua harus pandai memancing-mancing anak agar mau ‘bicara’.
Caranya, Anda lontarkan satu ‘kejadian’ yang mungkin menarik bagi anak untuk memancing perhatiannya. Saya sebut kejadian ini sebagai “even catching“. “Tadi Mama ketemu teman sebangku KK di sekolah, namanya siapa? Neni ya?” “Apa yang KK sukai dari Neni?” “Kenapa sih Adik suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia?” “Kak, apa yang membuat tadi kakak tertawa di sekolah, bagi dong sama Bunda…. “
Kedua, jika Anda menemukan anak murung atau seperti terlihat sedih karena ada masalah dan belum mau bercerita, tidak apa, jangan pernah dipaksa bicara. Semakin dipaksa semakin ‘otak reptil’ bekerja dan ia semakin menutup mulutnya. Anda cukup bicara “Mama senang jika Kakak mau bercerita…. Klo kakak mau bercerita mama siap mendengarkan”
Ketiga, jika Anda menemukan masalah anak atau anak telah bercerita tentang masalahnya dan ada ‘kontribusi’ akibat dari kelalaian anak itu sendiri, jangan pernah terburu-buru untuk mencoba menceramahi atau menggelontorkan nasihat-nasihat kepadanya. Biarkan ia bebas untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Berikan pengertian Anda bahwa Anda mengerti perasaan mereka dan bahwa mungkin Anda pun faham betapa kecewanya jika berbuat lalai. Bahwa kita sungguh-sungguh mendengarkan perasaannya. Orang menyebutnya ini sebagai mendengar aktif.
Keempat, berikan kepercayaan kepadanya untuk bersama-sama mencari solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Tentu saja, orangtua boleh membantu, tetapi sebaik-baiknya masalah yang dihadapi anak, anak sendiri yang menemukan solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Orangtua sebaiknya berperan sebagai ‘fasilitator’. “Mama tau kamu sedih dengan nilai raportmu, kira-kira apa yang bisa kamu lakukan agar nilai kamu tambah baik?” “Ada tidak yang bisa mama Bantu dari ini?” Dengan ini, anak-anak dilatih untuk menjadi ‘problem solver’ minimum untuk dirinya sendiri atau setidaknya jika kita pun menawarkan bantuan, ia sendiri yang memutuskan di bagian manakah orangtuanya dapat membantu dirinya.
Kelima, kendalikan anak dari televisi. Menonton televisi yang berlebihan dapat membuat anak menjadi pasif. Kita tahu, saat anak nonton televisi ia lebih banyak diam dibandingkan dengan bergerak. Padahal saat bergerak, gerakan bagi anak-anak itu menstimulasi otaknya, kecerdasannya. Dengan anak pasif, ia hanya menerima, tidak aktif merespon. Otaknya jadi tak terlatih untuk berpikir dan dapat membuat mereka semakin sulit untuk mengeluarkan pikiran dan perasaannya. Satu jam sehari nonton televisi cukuplah sekadar untuk memuaskan anak-anak kita. Setidaknya itu yang dilakukan Madonna, artis Hollywood yang terkenal itu. Masak orangtua shalih kalah sama Madonna?
Keenam, berlatihlah. Orantua shalih, seharusnya semakin dewasa anak kita semakin sedikit kita bicara dan kita berikan anak-anak kita justru yang banyak bicara. Memang jika sebagian Anda “hobby” bicara terasa sulit. Tapi insya Allah dengan latihan menahan diri untuk tidak buru-buru mengungkapkan bahwa gagasan kita lebih baik dari pada anak-anak kita, kita akan semakin terlatih membuat anak kita bicara.
Ketujuh, Anda boleh mengungkapkan gagasan, pikiran dan perasaan Anda pada anak setelah anak bicara banyak. Saya terlalu sering bilang pada banyak orangtua pakailah rumus “undang anak bicara, baru kita bicara”. Tapi saat Anda bicara, please… jangan pernah membandingkan anak kita dengan siapapun agar anak berbuat baik. Terima ia apa adanya, fokus saja pada solusinya.
Kedelapan, gunakan waktu-waktu santai anak. Memilih waktu santai lebih efektif karena anak-anak dalam keadaan rileks pikirannya. Ia lebih nyaman untuk bicara dan bahkan mungkin bisa lebih nyaman untuk menerima pesan-pesan yang disampaikan orangtua.
Kesembilan, anti jaim alias jangan pernah jaga image di depan anak. Maksudnya pakailah bahasa tubuh dan ekspresi Anda saat Anda senyum, tertawa, sedih. Sertakan gerakan mata, ekspresi wajah, gerik-gerik tubuh Anda. Tetapi tak usah berlebihan dan hati-hati saat Anda merasa khawatir. Anda harus pandai mengendalikan diri Anda sendiri. Jangan sampai saat anak gadis Anda bicara “Ma aku gemetaran tanganku tadi di sekolah di pegang sama Cecep..”. Jangan sampai Anda justru yang gemetara dan berkeringat dingin di depan anak. Apalagi sampai pingsan di depan anak. Sungguh tak lucu bukan?
Jangan pernah dianggap bahwa kesembilan hal ini ribet. Curhat adalah hal yang sangat sederhana dan tidak memerlukan keterampilan seperti Anda bicara. Yang dibutuhkan dari Anda adalah mau tidak Anda menahan diri untuk tidak buru-buru menyalahkan, untuk tidak buru-buru melontarkan perasaan dan pikiran Anda. Ingat, membuat anak curhat adalah membuat mereka mengeluarkan pikiran dan perasaan mereka, bukan mengeluarkan perasaan dan pikiran Anda. Ingat, Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut, makannya, sebenarnya mendengar curhat anak seharusnya lebih mudah daripada bicara pada anak. *
source : resepfavoritbunda
Curhat, sarana yang sederhana, ternyata dapat membuat anak-anak kita bisa memiliki daya tahan mental lebih baik terhadap lingkungan (negatif). Setidaknya itu yang dipublikasikan riset dari John Hopkins University: remaja-remaja yang memiliki kesempatan berbicara pada orangtua ternyata memiliki daya tahan mental lebih baik terhadap pengaruh lingkungan.
Tanyakanlah pada mereka yang tak pernah curhat pada orangtua, apakah mereka merasa ‘dekat’ dengan orangtuanya? Bagi sebagian kita juga, coba-coba ingat-ingat masa remaja Anda. Bagi sebagain kita yang curhat pada orangtua, bukankah ada perasaan tenang dan nyaman bukan? Sebaliknya bagi kita yang tak pernah curhat, bukankah sungguh tak enak memiliki orangtua tapi tak nyaman bicara pada orangtua?
Lalu, bagaimana agar anak nyaman curhat pada kita, orangtuanya?Pertama, orangtua harus memahami tipe apakah anaknya ini: periang atau pemalu? Pendekatan pada setiap anak dapat berbeda untuk membuat anak curhat. Anak-anak yang periang mungkin mudah untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Bahkan, sebagian anak ini, jika bicara hampir tanpa titik, berantai seperti kereta api. Agar anak curhat, orangtua tinggal membuat pertanyaan-pertanyaan terbuka dari cerita-cerita yang mungkin akan meluncur dari mulut anak-anaknya.
Tetapi bagi sebagian anak lain seperti anak pemalu, maka ia cenderung diam dan pasif. Ini terjadi karena ia cenderung menjadi ‘pengamat’ dari pada pembicara. Apalagi, anaknya cenderung hati-hati. Tapi, percayalah, berbicaralah adalah kebutuhan bagi semua orang, termasuk bagi anak-anak yang pendiam sekalipun. Hanya saja memang orangtua harus pandai memancing-mancing anak agar mau ‘bicara’.
Caranya, Anda lontarkan satu ‘kejadian’ yang mungkin menarik bagi anak untuk memancing perhatiannya. Saya sebut kejadian ini sebagai “even catching“. “Tadi Mama ketemu teman sebangku KK di sekolah, namanya siapa? Neni ya?” “Apa yang KK sukai dari Neni?” “Kenapa sih Adik suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia?” “Kak, apa yang membuat tadi kakak tertawa di sekolah, bagi dong sama Bunda…. “
Kedua, jika Anda menemukan anak murung atau seperti terlihat sedih karena ada masalah dan belum mau bercerita, tidak apa, jangan pernah dipaksa bicara. Semakin dipaksa semakin ‘otak reptil’ bekerja dan ia semakin menutup mulutnya. Anda cukup bicara “Mama senang jika Kakak mau bercerita…. Klo kakak mau bercerita mama siap mendengarkan”
Ketiga, jika Anda menemukan masalah anak atau anak telah bercerita tentang masalahnya dan ada ‘kontribusi’ akibat dari kelalaian anak itu sendiri, jangan pernah terburu-buru untuk mencoba menceramahi atau menggelontorkan nasihat-nasihat kepadanya. Biarkan ia bebas untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Berikan pengertian Anda bahwa Anda mengerti perasaan mereka dan bahwa mungkin Anda pun faham betapa kecewanya jika berbuat lalai. Bahwa kita sungguh-sungguh mendengarkan perasaannya. Orang menyebutnya ini sebagai mendengar aktif.
Keempat, berikan kepercayaan kepadanya untuk bersama-sama mencari solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Tentu saja, orangtua boleh membantu, tetapi sebaik-baiknya masalah yang dihadapi anak, anak sendiri yang menemukan solusi atas permasalahan yang ia hadapi. Orangtua sebaiknya berperan sebagai ‘fasilitator’. “Mama tau kamu sedih dengan nilai raportmu, kira-kira apa yang bisa kamu lakukan agar nilai kamu tambah baik?” “Ada tidak yang bisa mama Bantu dari ini?” Dengan ini, anak-anak dilatih untuk menjadi ‘problem solver’ minimum untuk dirinya sendiri atau setidaknya jika kita pun menawarkan bantuan, ia sendiri yang memutuskan di bagian manakah orangtuanya dapat membantu dirinya.
Kelima, kendalikan anak dari televisi. Menonton televisi yang berlebihan dapat membuat anak menjadi pasif. Kita tahu, saat anak nonton televisi ia lebih banyak diam dibandingkan dengan bergerak. Padahal saat bergerak, gerakan bagi anak-anak itu menstimulasi otaknya, kecerdasannya. Dengan anak pasif, ia hanya menerima, tidak aktif merespon. Otaknya jadi tak terlatih untuk berpikir dan dapat membuat mereka semakin sulit untuk mengeluarkan pikiran dan perasaannya. Satu jam sehari nonton televisi cukuplah sekadar untuk memuaskan anak-anak kita. Setidaknya itu yang dilakukan Madonna, artis Hollywood yang terkenal itu. Masak orangtua shalih kalah sama Madonna?
Keenam, berlatihlah. Orantua shalih, seharusnya semakin dewasa anak kita semakin sedikit kita bicara dan kita berikan anak-anak kita justru yang banyak bicara. Memang jika sebagian Anda “hobby” bicara terasa sulit. Tapi insya Allah dengan latihan menahan diri untuk tidak buru-buru mengungkapkan bahwa gagasan kita lebih baik dari pada anak-anak kita, kita akan semakin terlatih membuat anak kita bicara.
Ketujuh, Anda boleh mengungkapkan gagasan, pikiran dan perasaan Anda pada anak setelah anak bicara banyak. Saya terlalu sering bilang pada banyak orangtua pakailah rumus “undang anak bicara, baru kita bicara”. Tapi saat Anda bicara, please… jangan pernah membandingkan anak kita dengan siapapun agar anak berbuat baik. Terima ia apa adanya, fokus saja pada solusinya.
Kedelapan, gunakan waktu-waktu santai anak. Memilih waktu santai lebih efektif karena anak-anak dalam keadaan rileks pikirannya. Ia lebih nyaman untuk bicara dan bahkan mungkin bisa lebih nyaman untuk menerima pesan-pesan yang disampaikan orangtua.
Kesembilan, anti jaim alias jangan pernah jaga image di depan anak. Maksudnya pakailah bahasa tubuh dan ekspresi Anda saat Anda senyum, tertawa, sedih. Sertakan gerakan mata, ekspresi wajah, gerik-gerik tubuh Anda. Tetapi tak usah berlebihan dan hati-hati saat Anda merasa khawatir. Anda harus pandai mengendalikan diri Anda sendiri. Jangan sampai saat anak gadis Anda bicara “Ma aku gemetaran tanganku tadi di sekolah di pegang sama Cecep..”. Jangan sampai Anda justru yang gemetara dan berkeringat dingin di depan anak. Apalagi sampai pingsan di depan anak. Sungguh tak lucu bukan?
Jangan pernah dianggap bahwa kesembilan hal ini ribet. Curhat adalah hal yang sangat sederhana dan tidak memerlukan keterampilan seperti Anda bicara. Yang dibutuhkan dari Anda adalah mau tidak Anda menahan diri untuk tidak buru-buru menyalahkan, untuk tidak buru-buru melontarkan perasaan dan pikiran Anda. Ingat, membuat anak curhat adalah membuat mereka mengeluarkan pikiran dan perasaan mereka, bukan mengeluarkan perasaan dan pikiran Anda. Ingat, Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut, makannya, sebenarnya mendengar curhat anak seharusnya lebih mudah daripada bicara pada anak. *
source : resepfavoritbunda